Penetapan 5
Januari sebagai hari PKL (Pedagang Kaki Lima) hanya terjadi di Kudus. Konon,
pengukuhan hari PKL bertepatan dengan peristiwa penyerahan bantuan hibah
ratusan grobak kepada para PKL pada tahun 2013 jelang pelaksanaan Pilkada
Kabupaten Kudus.
Peringatan hari PKL tahun 2016 diselenggarakan
Pemkab Kudus dengan menggelar gebyar PKL. Kemeriahan gebyar PKL kali ini
terungkap sisi gelap yang mengarah pada intimidasi dan eksploitasi terhadap
para PKL.
Patut
disayangkan, dugaan pemaksaan terhadap sejumlah PKL (Pedagang Kaki Lima) dalam
kegiatan Gebyar PKL. Terbukti adanya surat yang dikeluarkan Dinas Perdagangan
dan Pengelolaan Pasar Kab. Kudus yang mewajibkan PKL untuk ikut serta dalam
kegiatan tersebut dengan disertai ancaman.
Sah-sah saja
hari PKL diperingati guna menunjukkan keberpihakan Pemkab Kudus terhadap
keberadaan pedagang kecil. Akan tetapi tidak harus menggelar kegiatan yang
dipaksakan. Ancaman akan melarang berjualan di wilayah Kab. Kudus bagi PKL yang
tidak berpartisipasi dalam gebyar PKL merupakan bentuk pelanggaran HAM.
Surat undangan
bagi PKL yang disertai ancaman sama saja menempatkan PKL sebagai obyek guna
memuaskan kepentungan rezim yang berkuasa saat ini. PKL dipaksa untuk balas
budi atas peran pemerintah yang merasa telah membebaskan mereka berdagang di
pinggir jalan. Bahkan dipaksa untuk berterimakasih atas kebaikan pemerintah
yang pernah memberikan gerobak PKL pada tahun 2013 menjelang berlangsungnya
Pilkada di Kab. Kudus.
Temuan surat
undangan plus ancaman terhadap PKL menjadi sisi gelap dari kemeriahan gebyar
PKL. Hanya PKL yang berada di Simpang 7 yang diuntungkan. Sementara PKL yang
telah mapan diberbagai tempat menanggung kerugian akibat sepi pembeli.
Gebyar PKL dengan dalih memperingati hari PKL
perlu dievaluasi. Memobilisasi para PKL untuk menggelar dagangannya dalam satu
areal yang ditentukan memicu keresahan. Pertama, ada biaya atau tenaga
yang harus dikeluarkan para PKL ketika berpindah dari lokasi asalnya, dan kedua
pendapatannya menurun disebabkan banyak PKL memiliki langganan tetap yang tidak
semuanya berkenan datang ke lokasi gebyar PKL.
Anehnya, ketika banyak diketahui pengakuan para
PKL mengalami intimidasi justru media bungkam. Diduga, idealisme pers kalah
oleh bayaran iklan yang cukup tinggi. Jeritan para PKL tidak teradvokasi oleh
teriakan lantang aktifis yang selama ini mengaku pejuang demokrasi.
Penguasa saat ini rupa-rupanya paham sekali cara
membungkam pers ataupun memasung para pegiat demokrasi yang ada di Kudus.
Anggaran iklan tiap tahunnya meningkat tajam. Oleh karenanya semua aktivitas
pemerintah dapat disetting meskipun tidak sesuai kenyataan sebenarnya.