Beritamuria.com. Sejak digulirkannya kebijakan terkait Dana Bagi Hasil
Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) tahun 2007 melalui UU Nomor 39 tahun 2007 tentang
Cukai dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-VI/2008 tahun 2008, setiap tahunnya
Pemerintah telah mengalokasikan dan menyalurkan DBHCHT sebesar 2% (dua persen)
dari penerimaan negara. cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia kepada provinsi
Penghasil Cukai Hasil Tembakau. Selanjutnya oleh provinsi penerima DBHCHT dibagikan
kepada provinsi/kabupaten/kota di wilayahnya dengan komposisi 30% (tiga puluh persen)
untuk provinsi penghasil, 40% (empat puluh persen) untuk kabupaten/kota daerah penghasil,
dan 30% (tiga puluh persen) untuk kabupaten/kota lainnya.
Menurut Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian
Keuangan RI, Pramudjo dikutip dari buku pengantar DBHCHT bidang kesehatan, 21
Oktober 2012, DBHCHT yang dibagikan ke daerah bersifat specific grand. Penggunaannya sudah diarahkan untuk mendanai kegiatan
tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 66A UU Nomor 39 tahun 2007 ayat (1) yaitu
untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan
sosial, sosialisasi ketentuan di Bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena
cukai ilegal.
Dari lima kegiatan tersebut, ujarnya, dirinci lebih detil menjadi 21 (dua puluh satu)
sub jenis kegiatan sebagaimana Diatur dalam PMK 84/PMK.07/2008 jo. MK Nomor 20/PMK.07/2009
tentang Penggunaan DBHCHT dan Sanksi atas Penyalahgunaan DBHCHT.
Pengaturan penggunaan DBHCHT tersebut pada dasarnya merupakan
bentuk sharing kewajiban Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah penerima DBHCHT.
Semua dimaksudkan mendukung pelaksanaan pencapaian tujuan pengenaan cukai hasil
tembakau yaitu dalam rangka pengendalian dan pengawasan serta mitigasi terhadap
dampak negatif yang ditimbulkan produk tembakau.
“Disamping juga dalam rangka optimalisasi penerimaan
negara CHT sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 UU Nomor 39 tahun 2007,”
ungkapnya.
Selanjutnya pengaturan kebijakan DBHCHT sebagaimana tersebut
di atas, sudah seharusnya DBHCHT yang diberikan kepada daerah penerima digunakan
sesuai peruntukannya. Namun dalam prakteknya
kondisi yang terjadi malah sebaliknya, masih ditemukannya berbagai kegiatan penggunaan
DBHCHT yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Pramudjo menuturkan, berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan
terhadap rencana kerja anggaran maupun realisasi
penggunaan anggaran DBHCHT dari beberapa daerah penerima masih menunjukkan ketidaktepatan
daerah dalam mengalokasikan kegiatan yang sesuai dengan ketentuan, seperti penggunaan
DBHCHT dalam bidang kesehatan. Masih ditemukan adanya kegiatan pengadaan sarana
dan prasarana kesehatan yang tidak ada kaitannya
langsung dengan penanganan penyakit akibat dampak asap rokok atau penempatan kegiatan
DBHCHT untuk menangani penyakit menular, HIV/AIDS, 5 Keluarga Berencana, dan sebagainya.
“Kondisi ini tentu berakibat tidak hanya terhadap ketidaktercapaian
tujuan cukai hasil tembakau tersebut, namun juga berpotensi menyalahi ketentuan
yang berlaku,” imbuhnya.
Dari hasil evaluasi maupun kunjungan yang dilakukan di
beberapa daerah ternyata kondisi ketidaktepatan dalam pengalokasian penggunaan DBHCHT
tersebut hampir merata terjadi disemua daerah. Salah satu penyebabnya adalah faktor
kurangnya pemahaman unit/aparatur pelaksana di daerah dalam menterjemahkan aturan
pelaksanaan penggunaan DBHCHT sebagaimana tertuang dalam PMK 84/PMK.07/2008 jo.PMK
Nomor 20/PMK.07/ 2009. Padahal sosialisasi maupun konsultasi atas pemahaman aturan
penggunaan ini sudah sering dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi
Penerima. (Adv).