BERITAMURIA.Com-Kudus, Guna
mendapatkan hasil yang maksimal dalam pembuatan Peraturan Daerah Swalayan, Panitia Khusus ( pansus) III menerima masukan
dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Acara ini dilakukan di gedung DPRD
Kabupaten Kudus, Senin, 13 Juni 2016.
“ Penyusunan perda ini harus hati-hati,
teliti dan akurat. Sehingga semakin minim celah yang diterobos oleh para
pemilik toko modern bermodal besar ,” ujar Agus Imakudin, ketua Pansus III
Ranperda Pemkab Kudus seperti ditulis dalam berita Sindo Seputar Kudus.
Menurut Agus Imakudin, pertama yang
harus ditertibkan sekarang ini adalah terkait perizinan toko modern. Sebab
ketika mendirikan banyak sekali kelengkapan izin yang harus dikantongi. Mulai
dari ijin lingkungan, mendirikan bangunan sampai izin usaha. Namun saat ini sekian
ratusan toko modern dan swalayan di Kudus diperkirakan hanya 10 persen yang
memiliki izin.
“ nanti rencananya akan kita masukan
peraturan jarak toko modern dengan pasar tradisional maupun toko tradisional.
Misalnya 500 meter atau satu kilometer ,” ucapnya.
Udin- sapaan akrabnya- menambahkan,
selain jarak, toko modern juga diharuskan mengisi gerainya dengan minimal 30
persen produk lokal (UMKM) dengan jumlah tidak dibatasi. Misalnya, sebuah
produk ceriping pisang produk UMKM di lokasi kecamatan dekat toko modern.
Nantinya pemilik toko tidak boleh banyak mengambil 3 bungkus hanya untuk
memenuhi persyaratan perda.
“ Kita pas studi banding di Jogjakarta
menemukan kasus seperti itu. Disana sudah ada perda swalayan dan toko modern,
tapi ternyata disiasati oleh pemilik toko. Dia mengambil apem hanya tiga biji
untuk ditaruh digerai. Hanya dipajang saja sebagai sekedar gugur kewajiban
terhadap perda. Ini tidak boleh terjadi di Kudus. Nanti kita memasukan aturan,
minimal kuota memang 30 persen dari isi gerai adalah produk lokal. Tapi masih
ditambahkan jumlahnya unlimited ,” paparnya.
Politisi PDIP ini berharap dengan adanya
perda ini maka pertumbuhan ekonomi di Kabupaten kudus bakal makin cepat dan
merata. Selain itu, hasil studi banding lainya juga adanya perubahan nama toko
modern yang masuk dalam sistem franchise atau berjejaring. Hal ini sebagai
upaya untuk menghindari kewajiban 30 persen produk lokal dan menyebut nama toko
berjejaring.
“ Ini kita memang menemukan celah. Di
Jogja dalam perdanya menyebut merk toko berjejaring, sehingga ada beberapa toko
diubah nama. Padahal desain toko, ornamen toko berjejaring masih melekat.
Begitu juga dengan droping barang-barang masih berasal dari induk toko modern
tersebut ,” ungkapnya.
Menanggapi hal ini, Ahmad Fikri, perwakilan
dari LSM, berharap agar dalam perda nantinya juga dimasukan aturan tentang
kewajiban peraturan merekrut tenaga kerja dari lokal minimal level kecamatan.
Sehingga kehadiranya juga bisa menciptakan lapangan pekerjaan.
“ Selama ini kan mereka pekerjanya
bebas. Malah jauh-jauh asalnya dari lokasi toko modern itu. Kalau dibiarkan
lama-lama nanti malah menimbulkan kecemburuan sosial. Tapi kita juga dalam
perekrutan tenaga kerja itu mengikuti kualifikasi dengan aturan toko modern itu
,” ucap Ahmad Fikri.
Sedangkan Supriyanto, LSM lainya
menambahkan, agar toko modern itu juga bekerjasama dengan toko-toko tradisional
dalam kampung. Maksutnya, bisa berlaku sebagai pemasok isi toko-toko dalam
kampung. Sebab keberadaan toko berjejaring itu ketika pengadaan barang harganya
jauh lebuh murah dibandingkan dengan toko modern.
“ Jadi nanti bisa sama-sama maju. Kalau
toko tradisional dalam kampung itu laris, otomatis toko modern juga laris.
Sebab lokasi toko-toko modern itu
biasanya berada di pinggir jalan raya ,” kata Supriyanto. (MSH)